A. KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
Artinya : “Mahasuci Allah yang
menjadikan semua kejadian berpasang-pasangan dari sesuatu yang tumbuh dari
bumi, dari mereka (manusia) dan dari sesuatu yang mereka tiada mengetahui.”
(QS. Yaasin :36)
Di dunia ini Allah telah menciptakan segala
sesuatu dengan cara berpasang-pasangan . bila ada siang tentu ada malam, ada
panjang dan ada pendek. Hampir bisa dipastikan bahwa itu adalah keniscayaan
yang universal. Bagi manusia, selain mereka diciptakan untuk berpasang-pasangan
; ada laki-laki dan ada perempuan, oleh Mahakuasa sengaja diberikan didalmnya
hasrat untuk berkasih sayang, saling mencintai dan ber-ta’aruf.
Hidup berpasangan merupakan kehendak Allah
kepada makhluk-Nya, sehingga makhluk-Nya dalam menjalani hidup di dunia dapat
merasa nyaman dan tenteram. Selain itu, yang terpenting adalah rasa tenteram
itu tercipta sebagai pelajaran kepada manusia untuk berpikir tentang Tuhan dan
kekuasaan-Nya. Allah menegaskan :
Artinya : “ Dan Allah menciptakan
kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu
berpasang-pasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuan
mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya.” (Q.S.
Fathir :11)
Jika melihat kebelakang, pernikahan telah
dilakukan semenjak Adam AS. Dengan Hawa. Mereka membangun keluarga dan
menjalani kehidupan dengan anak dan cucunya. Sistem pernikahan pada saat itu
masih sederhana, dikarenakan jumlah populasi manusia masih sedikit, dan belum
ada ketetapan atau peraturan dari Allah seputar persoalan pernikahan. Sehingga
seorang kakakpun diperbolehkan untuk menikahi adiknya. Hal ini biasa disebut
dengan pernikahan silang, pernikahan semacam ini masih berlaku dikalangan
orang-orang Majusi.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, dan
Allah telah menurunkan petunjuk melalui rasul-rasul-Nya, masalah pernikahn
menjadi persoalan terentu dan mendapatkan respon serius dari-Nya. Selanjutnya
mengenai pernikahan ini Allah telah memberikan tuntunan atau ketetapan hukum
yang mengatur persoalan pernikahan, muali dari syarat, rukun, dan sebagainya.
Peraturan pernikahan dalam islam tak hanya mengatur boleh tidaknya nikah dengan
saudara kandung saja, tapi juga kepada perempuan yang dikategorikan “Muhrim”
yang tidak boleh dinikahi oleh sesama muhrimnya.
Namun hukum yang dibuat untuk keteraturan dan
keselamatan umat manusia tidak diindahkan oleh manusia itu sendiri. Orang
kemudian bisa dengan seenak hatinya menyalurkan hasrat biologis tanpa melalui
jalur yang telah dibuat. Banyak manusia yang demi kepentingan dan hanya
berlandaskan kebutuhan hawa nafsu biologis, dapat menjalin hubungan dengan sesamanya
tanpa ikatan atau tidak dengan ketentuan hukum yang berlaku. Aturan yang
seharusnya menjadi petunjuk dan tuntutan berubah menjadi peraturan yang kosong
dan tak bermakna keberadaan dan kehadirannya.
Naluri manusia untuk menyalurkan hasrat
biologisnya sering kali tidak dilakukan sesuai dengan prosedur atau tuntutan
yang telah agama jelaskan. Apakah dia belum mendapatkan pengajaran tentang
aturan tersebut ? Ia dengan bersuka cita berganti-ganti pasangan( kumpul kebo)
, tak mengubris perintah agama yang sesungguhnya demi kebaikan dirinya juga.
Islam merubah sifat yang berbau kebinatangan
semacam itu, dan mengangkat martabat seseorang kepada tingkat yang lebih
tinnggi melalui pernikahan. Karena dengan prosedur yang diatur oleh agama
inilah yang menyebabkan manusia dibedakan dengan hewan. Dengan melakukan
peraturan yang telah ditentukan oleh agama itu akan membuat proses pernikahan
menjadi lebih bermakna, teratur, tidak merugikan orang lain dan dapat
dipertanggung jawabkan kelak.
1. PENGERTIAN
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan.
Kata dasar dari pernikahan adalah nikah. Menurut bahasa indonesia, kata nikah
berarti berkumpul atau bersatu.Dalam berbagai pandangan, pengertian nikah dapat
dibedakan : pertama menurut bahasa, kedua menurut syara’ (syariat), dan yang
ketiga pendapat para ahli Ushul Fiqh.
Menurut bahasa, nikah bermakna penyatuan,
perkumpulan, atau dapat diartikan sebagai akad atau hubungan badan. Al-Fara’ mengatakan; “ An-Nukh” merupakan sebutan yang digunakan untuk
kemaluan. Dan Al-Azhari mengatakan, pengertian nikah dalam akar kata bahasa Arab berarti hubungan badan, dan juga
ia mengatakan bahwa berpasangan dapat diartikan sebagai nikah. Sedangkan
Al-Farisi mengatakan nikah dapat berarti akad. Mengapa disebut akad? Karena
akad merupakan jalan untuk terjalinnya hubungan antara kedua calon melalui
kesepakatan, namun dapat berarti hubungan badan jika seorang mengatakan ia
menikahi isterinya.
Di dalam kitab suci Al-Qur’an, banyak sekali
ayat yang membicarakan tentang persoalan pernikahan, ada 103 ayat, baik dengan
menggunakan kosa kata nikah yang berarti “berhimpun” maupun kata zauwj yang bermakna berpasangan.
Kata nikah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak 23 kali, sementara kata
zauwj ditemukan sebanyak 81 kali.
Musdah mulia mengatakan bahwa dari kajian
terhadap semua ayat-ayat membahs pernikahan tersebut, dapat disimpulkan
beberapa prinsip utama atau dasar yang semestinya menjadi landasan dalam pernikahan. Pertama,
prinsip monogami,; kedua, prinsip mawadah warahmah ( cinta dan kasih sayang);
ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi; keempat mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan
dan santun) dan kelima, prinsip kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki
dan perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan syari’ah.
Sedangkan niakh menurut syara’ yaitu akad yang
membolehkan seorang laki-laki berhubungan kelamin dengan perempuan. Pelaksanaan
akad nikah akan dianggap sah apabila didalamnya menggunakan tuturan, ini
merupakan kesepakatan para ulama mazhab. Mazhab hanafi berpendapat bahwa dalam akad boleh menggunakan segala “ redaksi”
asalkan menunjukkan maksud menikah, bahkan menggunakan kata al-Hibah(
penyerahan), al-Atha’(pemberian), al-lbahah(pembolehan), dan lain sebagainya,
sepanjang akad tersebut disertai dengan kata-kata yang berhubungan dengan
nikah.
Sementara pengertian nikah dalam pandangan para
ahli Ushul Fiqh berkembang menjadi beberapa macam pendapat mengenai lafadz nikah.
Pertama, dari para ahli Ushul Fiqh golongn
hanafi mengatakan nikah menurut arti sebenarnya berarti setubuh(bahda’a) dan
menurut arti majazinya(kiasan) berarti akad, yang dengan akad itu dapat
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan. Bila kita
lihat lebih dalam dari pernyataan tadi, maka hukum laki-laki yang mengawini perempuan
yang pernah bersetubuh dengan bapak dari laki-lki tersebut dengan tidak melalui
pernikahan (zina), hukumnya haram. Sedangkan anak perempuan hasil dari hubungan
yang tidak sah antara laki-laki dan perempuan , tidak boleh dinikahi oelh
laki-laki tersebut. Karena bagaimanapun anak perempuan itu tidak memiliki hak
atas waris dan perwalian nikah dari bapaknya tersebut.
Kedua, dari ahli Ushul Fiqh golongan syafi’i
berpendapat bahwa nikah menurut arti hakikinya berarti akad yang dapat
menghalalkan hubungan kelamin antar laki-laki dengan perempuan. Dan menurut
arti majazinya berarti bersetubuh. Dengan begitu perempuan yang disetubuhi
secara tidak sah oleh seorang laki-laki, boleh dinikahi oleh anak laki-lakinya
tersebut dan sebaliknya. Bahkan laki-laki itu boleh menjauhi perempuan hasil
dari hubungan gelapnya. Karena menurut pengertian mazhab syafi’i tidak ada hubungan nasab antara laki-laki
tersebut dengan perempuan hasil dari perzinahannya, yaitu tidak ada akad karena
hanya dengan akad nasab akan terjalin.
Pendapat Imam syafi’i dinilai oleh banyak
kalangan sebagai pendapat paling ekstrem di antara imam yang lain. Sedangkan
imam Hanafi dipandang sebagai imam
paling moderat dalam persoalan ini. Pandangan Imam Syafi’i tentang nikah sama
persis dengan proses transaksi jual beli barang,. Syarat-syarat yang diajukan
oleh Imam Syafi’i dalam pernikahan sama dengan syarat yang harus ada dalam
transaksi jual beli barang : penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan,
harga, dan sighat(ijab qabul) . ini bisa dilihat syrat-syarat nikah yang
diajukan oleh Imam Syafi’i , dari keberadaan wali ( sebagai penjual), mempelai
laki-laki (sebagai pembeli), mempelai perempuan( sebagai barang yang diperjual
beilkan) dan sighat( sebagai ijab kabul).
Posisi mempelai laki-laki sebagai pembeli
diharuskan untuk membayar mahar. Pihak mempelai perempuan sebagai barang yang
diperjualbelikan diminta oleh pihak mempelai laki-laki dari wali dengan lafal “
saya nikahi putri anda dengan mahar sekian....” dan dijawab pihak wali
perempuan , “ saya terima nikah anda dengan mahar yang telah disebutkan. “
proses ini tidak berbeda dengan transaksi jual beli barang, tinggal mengganti “
nikah” dengan “beli” dan “perempuan” diganti dengan barang apapun; rumah, mobil
dan lain-lain. Posisi wali memiliki kedudukan sebagai penjual karena berhak
menerima permintaan nikah dari pihak laki-laki.
Pendapat lain yang berkaitan denga uraian di
atas, disampaikan oleh imam Zamakhsyari. Ia mengatakan bahwa dalam Al-Qu’an
banyak kata nikah yang berpengertian sebagai akad, dan tidak ada kata nikah
dalam Al-Qur’an melainkan diartikan sebagai akad. Bila diartikan sebagai kiasannya maka kata
yang dipakai “ Mulasamah” atau “Mumasah” yang artinya: menyentuh. Sedangkan
dalam kitabnya yaitu Al-Kasysyaaf,
Zamakhsari mengartikan lafadz nikah dengan wathi’( bersetubuh) karena apabila
diartikan dengan akad, tidak akan sesuai dengan maksud ayatnya. Dengan demikian
Zamakhsyari memandang kata nikah dalam Al-Qur’an memiliki arti yang lengkap,
yang disebut dengan “ Lafad Musytarak.” Ibnu Hajar menambahkan bahwasanya
beliau sependapat dengan apa yang telah diuraikan Zamakhsyari apabila menggunak
pengertian jima’ akan mengarah kepada hal yang tabu untuk disebutkan.
Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Zamakhsyari dan Ibnu Hajar semakin menguatkan
apa yang telah diuraikan oleh Imam Haanafi. Hanya saja kalau dibandingkan
antara golongan Hanafi dan golongan Syafi’i masing-masing memiliki argumentasi
yang baik tentang pengertian nikah. Namun dalam penggunaan dalil Imam Syafi’i
lebih kuat daripada Imam Hanafi dekarenakan Imam Syafi’i melihat dari sudut
pandang syariatnya, sedangkan Imam Hanafi melihat dari sudut pandang bahasanya.
Ada juga pendapat ketiga dari bberapa ahli
Ushul Fiqh, diantaranya adalah Abu Al-Qasim Az-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hamz,
dan sebagian ahli Ushul Fiqh dari sahabat Abu Hanifah bersyarikat. Kelompok ini
berpandangan bahwa arti dari menikah adalah diantara bersetubuh dengan akad.
2.
HUKUM
NIKAH
“Sebuah perkara itu tergantung pada alasan atau
sebabnya”. Nikah bisa saja wajib, sunah,
mubah, makhruh, bahkan haram, dengan melihat keadaan orang yang hendak
melangsungkan pernikahan. Maka bila
ingin melakukan pernikahan setidaknya didasari
dengan melihat mampu tidaknya seseorang dalam hal ; melaksanakan
kewajiban untuk memberikan hak lahiriah baik sebagai seorang suami atau seorang
istri, dan kesanggupannya dalam memelihara diri dari nafsu batiniah, sehingga
tidak dikhawatirkan dapat terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak sejalan
dengan ajaran agama.
a. Mubah
Menurut sabagian besar ulama, hukum nikah pada
dasarnya adalah mubah atau jaiz, artinya
boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Jika dikerjakan tidak mendapat pahala,
dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Apabila seseorang telah memenuhi syarat
untuk melangsungkan pernikahan , minimal
untuk melakukan akad. Pernikahannya juga merupakan ibadah dalam islam.
Perbuatannya untuk melangsungkan pernikahan walaupun dalam keadaan demikian itu
halal baginya, maka janganlah menghalangi atau mencela perbuatan itu. Kebolehan
seseorang dalam melakukan pernikahan merupakan hak sepenuhnya, namun bukan
berarti kebolehan itu tanpa adanya kewajiban yang harus dipenuhi di hari depan
kelak.
b. Sunah
Sunah artinya boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan. Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak
berdosa. Bagi orang yang ingin menikah,
mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinahan –walaupun
tidak segera menikah – maka hukum nikah adalah sunah. Rasulullah bersabda :
Artinya :”
wahai para pemuda, jika diantara kamu sudah memiliki kemampuan untuk menikah,
hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan
lebih memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah,
hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya.”(HR.Bukhari
dan Muslim)
Artinya : “
nikah adalah sebagian dari sunnahku, siapa saja tidak suka terhadap sunnahku,
maka tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari).
c.
Wajib
Wajib berarti sesuatu yang harus dikerjakan dan
apabila ditinggalkan berdosa. Apabila seseorang mempunyai keinginan kuat untuk
melakukan hubungan dengan lawan jenisnya dan kurang mampu untuk menahan,
sedangkan ia dianggap mampu dalam urusan duniawi, maka hukum nikah baginya
adalah wajib. Dikarenakan jika tidak segera menikah, besar kemungkinan dapat
mendekati atau bahkan masuk ke dalam perzinahan. Ini merupakan sebab utama
mengapa seorang diwajibkan untuk melakukan pernikahan. Hanya dengan pernikahan
seorang dapat melakukan hubungan badan dengan halal, apabila ia tidak menikah
maka ia telah melakukan dosa.
d.
Makruh
Nikah dapat menjadi makruh hukumnya, apabila
seorang laki-laki menikah yang dengan nikahnya itu dapat membawa istri dan
anaknya kepada kesengsaraan, dikarenakan dia belum mampu dalam memenuhi
kewajibannya sebagai suami untuk memberikan nafkah. Walaupun ia tidak berdosa
ketika melakukan pernikahan itu, tetapi sebaiknya jangan dilakukan.
e.
Haram
Nikah menjadi haram apabila seseorang yang
hendak menikah tidak mampu untuk memberikan nafkah kepada anak istrinya, bahkan
untuk dirinya sendiri tidak mampu karena tidak memiliki sumber penghasilan.
Atau besar kemungkinan dengan menikah akan menjadi jalan untuk ia berbuat
kezaliman kepada istri dan anaknya.
3. TUJUAN PERNIKAHAN
Tidak bisa disangkal bahwa ikatan pernikahan itu merupakan dasar
terbentuknya rumah tangga. Tidak ada rumah tangga bisa tercipta dengan baik,
tanpa melalui ikatan pernikahan. Untuk bisa mewujudkan suatu rumah tangga yang Islami,
orang perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1. Pernikahan merupakan pangkal ikatan
kemasyarakatan
Dari pernikahan akan tersusun suatu keluarga, dari keluarga akan
tercipta ikatan antarkeluarga, antarsuku, antarkelompok, dan antarbangsa.
Hikmah dari pernikahan Rasulullah s.a.w. antarsuku adalah terciptanya ikatan
diantara suku-suku tersebut, sehingga terciptanya ikatan diantara mereka. Islam
menganjurkan supaya umatnya saling mengerti dan mengenal antarsuku dan
antarbangsa. Allah berfirman :
“Hai manusia, kami menciptakan kamu dari laki-laki dan wanita. Lalu
kami jadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku- suku, agar kamu saling
mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang
paling taqwa.” ( QS. Al-Hujarat: 13)
Pernikahan merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan sifat saling
mengenal dan sifat saling menghargai. Rasulullah s.a.w. mengajarkan, hendaknya
seseorang tidak menikah dengan familinya sendiri. Anjuran ini sangat penting
dalam menjaga ikatan antarfamili, karena apabila ikatan pernikahan itu putus,
akan berakibat putusnya pula ikatan kedua keluarga itu. Keterkaitan di dalam
keluarga adalah keterikatan antar individu dengan suami istri dan anak-anaknya,
dengan mengorbankan perasaan perseorangan demi kesatuan dalam keluarga. Seorang
suami bersedia memikul tanggung jawab yang berat dalm menghadapi tantangan
hidup sehari-hari dengan rasa senang dan semangat yang menyala – nyala. Karena
ia menyadari bahwa yang ia kerjakan itu bukan untuk kepentingan dirinya sendiri,
tetapi juga untuk orang-orang yang ia cintai, yaitu istri dan anak- anaknya.
Rasa kesatuan dalam masyarakat akan menumbuhkan semangat dan cinta
terhadap sesama. Sifat ini akan mendorong seseorang berani berkorban dalam
menghadapi kesulitan- kesulitan hidup. Menurut para ahli, sikap rela berkorban
lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang sudah berkeluarga. Seseorang yang
sudah berkeluarga merasa bahwa pengorbanan yang ia lakukan bukan hanya
pribadinya sendiri, melainkan juga pengorbanan yang ia lakukan bukan hanya anak
dan istrinya. Dengan kata lain, sekalipun seseorang terikat dengan kesulitan
yang meminta pengorbanan pengorbanan pribadinya, maka ia akan berpikir lebih
panjang lagi. Sebab pengorbanan pribadinya akan berpengaruh bagi masa depan keluarganya,
dengan kata lain bahwa keluarganya akan ikut menjadi korban. Inilah sebagai
bukti keterikatan seseorang yang sangat kuat dengan keluarganya sebagai hasil
pernikahan.
2. Bertujuan memenuhi kebutuhan biologis dan
psikologis
Sifat – sifat
biologis maupun psikologis. Semua kebutuhan itu harus dipenuhi, sebab kalau
tidak dipenuhi akan berakibat terjadinya kelainan- kelainan pada diri orang
tersebut. Di antara sekian banyak kebutuhan tersebut, salah satunya adalah
kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual ini menempati urusan ketiga setelah
kebutuhan makan dan minum.
Dorongan
kebutuhan seksual antara seseorang dengan yang lainnya, tingkatannya
berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor – faktor
biologis dari individu yang bersangkutan. Bahkan, ada pula orang yang tidak
punya hasrat seksual sama sekali, sehingga orang tersebut menolak untuk nikah.
Menurut agama Islam, keengganan untuk pernikahan bukan hanya didasarkan pada
kepentingan individu, tetapi juga mengikat kepentingan masyarakat. Seseorang
yang tidak menikah, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kehidupan maksiat.
Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dengan demikian, pernikahan
itu sendiri merupakan sunatullah dan sunatul Islam.
Selain sebagai
kebutuhan biologis, pernikahan juga merupakan kebutuhan psikologis. Apabila
kebutuhan psikologis seseorang tidak terpenuhi, maka akan berpengaruh pula
terhadap aktivitas fisik. Dampak negatifnya bisa berupa takanan batin (stres),
kelainan sikap dari kebiasaan normal, dan sebagainya. Untuk mengurangi dorongan
seksual, dapat dilakukan dengan jalan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat
memberikan rangsangan atau mengurangi makanan yang dapat menambah dorongan
tersebut. Menurut tuntunan Islam, jalan yang terbaik adalah melalui pernikahan,
tetapi bagi orang yang belum mampu untuk menikah, maka dianjurkan untuk
melaksanakan shaum, Allah berfirman:
“ Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan –Nya, ialah Dia yang menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan –Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
( QS. Ar-Rum:21)
Ketentraman
batin dan kasih sayang yang dirasakan seseorang didalam pernikahan merupakan
kepuasan psikologis yang tidak dipaksakan diluar pernikahan. Ketentraman ini bukanlah seperti ketentraman
yang diperoleh seseorang karena terlepas dari bermacam-macam kesulitan pikiran dan bukan pula ketentraman
yang diperoleh dari benda-benda yang menyenangkan. Tetapi ketentraman yang
diperoleh karena kepuasaan hati yang dilandasi cinta. Ikatan antara
suami-istri, berbeda dengan ikatan cinta antar teman. Ikatan cinta antara suami
istri mengandung rahasia yang hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Bagi
orang-orang yang mau menghayati tanda-tanda kebesaran Allah, akan merasakan
bahwa pernikahan betul-betul merupakan ikatan kedua hati yang menyatu.
Sedangkan hubungan tanpa pernikahan secara syara’ (syariat) hanya merupakan
hubungan lahiriah, tetapi hati dan perasaannya tetap terpisah. Dengan
sendirinya hubungan yang demikian itu akan dapat menciptakan kebahagiaan yang
sebenarnya.
Dengan demikian,
kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa pernikahan itu merupakan sunatul
Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Allah brfirman :
“Maha suci (
Allah) yang telah menciptakan berpasang-pasangan segala sesuatu yang dihasilkan
oleh bumi , dari diri mereka sendiri dan dari apa-apa yang mereka tidak tahu”.
(QS: Yasin :36)
Rasulullah s.a.w bersabda :
“Barang siapa menykai fitrahku, maka ia harus
mengikuti sunahku, dan salah satu sunahku adalah nikah.”
Ajaran Islam
sesuai dengan fitrah dan hukum alam. Hukum alam merupakan ketentuan yang
diletakkan Allah pada alam ini, dan itulah sunahtullah.
3. Pernikahan bermanfaat agar orang
terhindar dari penyakit.
Para dokter dan
ahli medis berpendapat bahwa hubungan di luar pernikahan dapat menyebabkan
penyakit yang berbahaya, yaitu penyakit sifilis atau raja singa, aids, dan
sebagainya. Penyakit ini sangat sulit pencegahannya. Sehingga para dokter di
Amerika menganjurkan agar para tuna susila memeriksakan diri setiap minggu,
walaupun dalam pelaksanaannya mengalami kesulitan, karena para tuna susila itu
melakukan propesinya setiap hari. Jadi mereka mengadakan penularan penyakit itu
secara terus menerus. Akhirnya apa yang dilakukan oleh para dokter dan ahli
medis Amerika itu mengalami kegagalan, walaupun pelaksanaanya dibawah naungan
undang-undang.
Islam dengan
ajaran kemanusiannya, dengan tegas melarang orang mengadakan hubungan jenis
kelamin diluar pernikahan sebagaimana Allah melarang pemuda dan pemudi yang
baik- baik untuk nikah dengan pezina.Allah berfirman:
“Laki-laki
yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina,atau perempuan
yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki–laki yang musyrik,dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmim”.
(QS.An-Nur:3)
Sesuai dengan
dalil-dalil yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran. Maka saya berpendapat bahwa
pernikahan antara orang yang baik-baik dengan wanita pelacur adalah tidak sah.
Disamping itu, pernikahan dengan tuna susila, dapat pula menurunkan penyakit
pada keturunan. Ini bukanlah semata-mata kesalahan perseorangan, tetapi juga
kesalahan masyarakat secara keseluruhan.
Sejak semula
ajaran Islam telah melarang zina, dengan sendirinya telah menutup segala
kemungkinan bagi berkembangnya penyakit raja singa dan aids tersebut. Lain
halnya dengan undang-undang yang dibuat oleh manusia yang hanya bersifat
mengurangi kemungkinan penularan. Dengan kata lain, mereka memperolehkan zina.
Kemudian setelah penyakit penyakit tersebut terjangkit dan melanda sebagian
besar pezina, barulah mereka berusaha mengobatinya. Sesungguhnya Allah telah
memberikan peraturan yang terbaik bagi manusia, karena Dia-lah yang menciptakan
manusia beserta alam semesta ini. Allah berfirman:
“ Apakah
Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui ( yang kamu lahirkan dan
rahasiakan) dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?”(QS.Al-Mulk: 14)
Proses penciptaan manusia yang bermula dari Adam dan Hawa,
dijelaskan dalam firman Allah:
“ Dan Allah
menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari sperma, kemudian Dia menjadikan kamu
berpasangan (laki-laki dan perempuan)”.
Pernikahan itu
merupakan peraturan atau ketentuan kemasyarakatan yang sangat agung. Itulah
undang-undang samawi yang telah mengharamkan hubungan tanpa nikah secara
syar’i.
Sebagian para
pemuda dan pemudi menganggap bahwa hubungan bebas tanpa nikah merupakan hal
yang wajar untuk menyalurkan nafsu syahwat dengan siapa dan kapan saja mereka
kehendaki.
Tetapi apabila
telah lewat masa muda itu, maka mereka baru menyadari bahwa pandangan yang
demikian sangatlah berbahaya, baik terhadap individu maupun masyarakat. Apabila
seseorang tidak menemukan jalan untuk mengekang nafsu syahwatnya, maka ia akan
merasakan tidak adanya ketenangan. Hilangnya ketenangan dan kestabilan ini akan
mendorong seseorang untuk memuaskan nafsu seksualnya dengan setiap wanita yang
ia lihat. Bila keinginan seksual itu tidak terpenuhi, maka ia akan merasa
kecewa seolah-olah ditimpa malapetaka. Tetapi apabila keinginan ini dituruti,
berarti ia telah menghancurkan dirinya sendiri. Ia akan diperbudak oleh
wanita-wanita yang tidak bermoral. Dengan demikian, hitunglah ketinggian
nilai-nilai kemanusiaan, berubah menjadi fitnah yang menjerumuskan ke lembah
kehinaan.
Sebagian orang
menganggap bahwa pendapat saya sudah terlalu jauh menyimpang, tidak tidak
sesuai dengan pendapat para dokter dan para sosiolog Barat. Pendapat saya
didasarkan atas pengakuan dan penyesalan dari mereka yang terlibat dalam
perbuatan dari mereka yang hina itu. Memang apabila dilihat dari luar,
seolah-olah mereka bahagia, tetapi sebenarnya perasaan mereka sangat tersiksa.
Islam adalah sebaik-baik ajaran yang mengatur akhlak para pemeluknya. Ajaran
yang menjaga dan melindungi kesehatan, baik kesehatan fisik ataupun akhlak dan
kepribadian. Islam merupakan ruh bagi manusia dan cahaya bagi kehidupan, baik
individu maupun masyarakat, yang mengantarkan manusia menuju kehidupan yang
bernilai tinggi. Allah berfirman:
“ Dan apakah
orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya
yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (QS. Al- An’am: 122)
4. Untuk menikmati kesenangan
Pernikahan itu
bukanlah semata-mata beban yang berat, tetapi juga mempunyai kenikmatan dan
kesenangan, karena kesenangan akan mendorong seseorang untuk giat dan terus
bekerja serta rela berkorban. Hanya saja Islam memberikan ketentuan agar
didalam mencari kesenangan itu tidak melanggar batas-batas yang telah
ditentukan. Allah berfirman:
“Katakanlah:
‘ Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang megharamkan) rezki yang baik?’
Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan ) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat’.” ( QS. Al-A’raf:32)
Rasulullah bersabda:
“Dunia ini
adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah perhiasan wanita salehah.”
5. Pernikahan untuk mendapatkan keturunan.
Dalam hal ini ada dua tujuan, yaitu:
à Untuk memenuhi kebutuhan seseorang karena sifat manusia yang ingin
melihat gambaran dirinya terlukis pada anaknya. Seorang anak akan menjadi
pewaris dan melanjutkan keturunan. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
anak juga merupakan perhiasan, seperti halnya harta, pangkat dan
kedudukan.Allah berfirman:
“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…..” (QS.Al-Kahfi: 46)
Bersenang-senang dengan perhiasan dunia adalah mubah, selama kita
tetap menunaikan hak-hak Allah dan Hamba-Nya
à Untuk menjaga kelangsungan kehidupan di bumi ini, demi kemakmuran
alam semesta. Allah menciptakan manusia dan menyuruhnya nikah, mempunyai tujuan
agar kehidupan ini berlangsung terus. Rasulullah bersabda:
“Saling nikahlah kamu, agar kamu menurunkan keturunan, dan saya
merasa bangga dengan banyak umat diantara kamu di Hari Kiamat.”
6. Pernikahan sebagai pelaksanaan ajaran Islam
Barang siapa
menghindari pernikahan, berarti ia telah meninggalkan sebagian dari ajaran
agamanya. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menikah sebagaimana sabdanya:
“Hai para
pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah mampu nikah, hendaklah nikah.
Sesungguhnya ia bisa menundukkan pandangan mata dan lebih bisa menjaga
kemaluannya. Barang siapa yang tidak sanggup, maka sebaiknya berpuasa saja.
Sesungguhnya itu akan menciptakan keseimbangan.”
Dari hadist tersebut, Rasulullah menekankan tujuan pernikahan dalam
dua hal:
à Untuk menghindarkan diri dari perbuatan maksiat, dengan jalan
menjaga pandangan mata.
à Merupakan jalan bagi seseorang agar terhindar dari perbuatan zina.
Walaupun Islam
mendorong seseorang untuk nikah,tetapi banyak persyaratan yang harus terpenuhi.
Diantara persyaratan tersebut yaitu kemampuan untuk berdiri sendiri memikul
tanggung jawab dan problem hidup suami-istri.
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa
telah mampu untuk nikah tetapi tidak nikah, maka ia bukan dari golonganku.”
Bagi seseorang
yang belum memenuhi persyaratan, maka tidaklah diperkenankan untuk menikah.
Sebab apabila pernikahan tersebut tetap juga dilaksanakan, dikhawatirkan akan
terjadi beberapa permasalahan di kemudian hari. Permasalahan itu bukan saja
berakibat pada dirinya sendiri, tetapi juga bagi anak-anak, istri dan
masyarakat.oleh karena itu, Allah menganjurkan kepada orang-orang yang belum
mampu untuk menikah agar bersabar dan menahan diri.
“Dan
orang-orang yang tidak mampu nikah hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga
Allah memampukan (dirinya) dengan karunia-Nya.”(QS.An-Nur:33)
Islam melarang
seseorang melaksanakan pernikahan sementara dia sendiri belum mampu. Padahal
dorongan syahwat yang tidak terpenuhi akan berakibat kurang baik bagi dirinya.
Dilain pihak, Islam juga melarang seseorang yang tidak mau menikah.Dalam
mengatasi masalah ini, Islam memberikan jalan keluar sebagai berikut;
Jalan pertama: Yaitu shiam(puasa).
Disamping shiam
mempunyai tujuan utama sebagai ibadah kepada Allah, shiam juga mengurangi
dorongan syahwat. Karena dengan shiam, orang dituntut untuk mampu menahan hawa
nafsunya, mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Jalan kedua: Yaitu isti’faf ( menjaga diri dari maksiat).
Para ahli
psikologi berpendapat apabila seseorang tidak dapat memenuhi dorongan
seksualnya maka ia akan mengalami gangguan kepribadian. Tetapi apabila
seseorang di dalam menahan gejolak seksual itu selalu mengingat akibat buruk
yang ditimbulkannya, maka gangguan kepribadian itu tidak akan terjadi.Allah
telah memperingatkan agar orang tetap terjaga dari perbuatan zina, seperti yang
difirmankan dalam Al-Quran:
“Dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang amat buruk.”(QS.Al-Isra:32)
Isti’faf ini
merupakan usaha untuk melepaskan diri secara psikologis dari gejolak seksual.
Melalui cara ini, tidak akan membahayakan bagi kehidupan seksual seseorang
karena nafsu seksual itu akan pulih kembali setelah orang tersebut
melangsungkan pernikahan.
Jalan ketiga: Yaitu dengan meringankan syarat-syarat pernikahan.
Diharapkan agar
pemerintah, orang tua atau wali dapat mempermudah pernikahan anak-anak mereka.
Lebih-lebih lagi, bagi fakir miskin yang tidak mampu untuk menikah.
Allah berfirman:
“Dan nikahkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang- orang yang layak(nikah)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Mahaluas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”(QS. An-Nur:32)
Rasulullah bersabda:
“ Bila
seseorang melamar ( anakmu) kepadamu dan kamu senang agama dan pribadinya, maka
nikahkanlah ia (dengan anakmu).”
Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong Allah:
à Orang yang berjuang di jalan Allah SWT.
à Seorang budak yang ingin menebus dirinya.
à Seseorang yang nikah karena ingin menjaga dirinya dari perbuatan
maksiat.
Para ulama
berpendapat, apabila pemerintah tidak mampu untuk menikahkan fakir miskin yang
sudah masanya untuk nikah, maka badan-badan sosial harus turun tangan.
Masyarakat wajib
membantu, sehingga mereka tidak selamanya membujang, karena nikah bukan hanya
menyangkut kepentingan individu saja, tetapi juga kepentingan sosial. Dengan
menikahkan orang-orang yang tidak mampu tersebut, berarti kita telah mencegah
mereka dari perbuatan zina.
4. RUKUN NIKAH
Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam
pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu sah. Rukun islam tersebut
ada lima macam yakni sebagai berikut :
A. Ada calon suami, dengan syarat : laki-laki yang
sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama islam, tidak dipaksa / terpaksa,
tidak sedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.
B. Ada calon istri, dengan syarat : wanita yang
sudah cukup umur ( 16 tahun) ; bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam
keadaan ihram haji atau umrah.
C. Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan
mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya.
Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut :
Artinya :” Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata, ‘Rasulullah SAW telah bersabda, “Siapapun
perempuan yang menikah dengan tidak
seizin walinya, maka batallah pernikahannya.’ (HR. Imam yang empat, kecuali
An-Nasai dan disahkan oleh Abu ‘Awamah, Ibnu Hibban, dan Al- Hakim)
Wali nikah dapat dibagi menjadi dua macam:
1. Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian
darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Urutan wali nasab :
a. Ayah kandung
b. Kakek dari ayah
c. Saudara laki-laki ayah dan seibu
d. Saudara laki-laki seayah saja
e. Anak laki-laki dari saudara yang seayah dan
seibu
f. Anak laki-laki dari saudara yang seayah saja
g. Saudara laki-laki ayah
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
(sepupu)
Urutan diatas harus dijaga. Kalau wali nomor
urut 1 masih ada dan memenuhu syarat, maka tidak sah pernikahan yang dilakukan
oleh wali nomor urut 2 dan seterusnya.
2.
Wali
hakim, yaitu kepala negara yang beragama islam. Di indonesia, wewenang presiden
sebagai wali hakim dilimpahkan kepadda pembantunya, yaitu Menteri Agama.
Kemudian Menteri Agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali
hakim, yaitu kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada di setiap kecamatan.
Wali Hakim bertindak sebagai wali nikah, jika wali nasab tidak ada atau tidak
bisa memenuhi tugasnya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
wali nikah adalah sebagai berikut:
a. Beragama Islam, orang yang tidak beragama Islam
tidak sah menjadi wali nikah. Seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah
Ali ‘Imran ayat 28
b. Laki-laki
c. Baligh dan berakal
d. Merdeka dan bukan hamba sahaya
e. Bersifat adil
f. Tidak sedang ihram haji atau umrah
D. Ada dua orang saksi. Selain itu dalam pernikahan juga diperlukan dua orang
saksi, dengan syarat beragama Islam. Laki-laki, baligh, berakal sehat , dapat
mendengar, dapat melihat, dapat berbicara, adil, dan tidak sedang ihram haji
atau umrah.
E. Ada akad nikah yakni ucapan ijab kabul. Ijab
adalah ucapan wali ( dari pihak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada
mempelai laki-laki. Qabul adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda
penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, karena
merupakan syarat nikah, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunah.
Suruhan untuk memberikan mas kawin terdapat dalam Al-Qur’an:
Artinya : “berikanlah mas kawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan...” (Q.S. An-Nisa, 4: 4)
Selesai akad nikah diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum
mengadakan walimah adalah sunah muakkad. Rasulullah SAW bersabda :
”adakanlah
walimah walaupun hanya dengan memotong seekor kambing.”( H.R. Bukhari
dan Muslim)
Menghadiri walimah bagi yang diundang hukumnya wajib, kecuali kalau ada
uzur (halangan) seperti sakit. Rasulullah SAW bersabda :
”Orang
yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti durhaka kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (H.R.
Muslim)
5.
MAHRAM
DAN MUHRIM
Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki
termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan
perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Penggunaan kata
muhrim untuk mahram perlu dicermati.
Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang
sedang mengerjakan ihram (haji atau umrah). Tetapi bahasa indonesia menggunakan
kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram menikah).
Mahram sebab keturunan
Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan diantara para ulama.
Allah berfirman : “ Diharamkan atas kamu
untuk (mengawini) 1. Ibu-ibumu; 2.anak-anakmu yang perempuan; 3.
Saudara-saudaramu yang perempuan; 4. Saudara-saudara ayahmu yang perempuan;
5. Saudara-saudara ibumu yang perempuan;
6. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; 7. Anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” (An-Nisa 4:23)
Dari ayat ini jumhurul ulama , Imam Abu
Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan anak dari perzinahan
menjadi haram, dengan berdalil pada keumuman firman Allah “anak-anakmu yang
perempuan”(An-Nisa 4:23) diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’iy, bahwa ia
cenderung tidak menjadikan Mahram (berarti boleh dinikahi)anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak
pelaku)secara syari’at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat: “Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu:
bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan” (An-Nisa 4:11)
Karena anak hasil zina tidak berhak mendapatkan warisan menurut ‘ijma’
maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini,(Al Hafizh Imamuddin Ismail bin
Katsir. Tafsirul Qur’anil Azhim 1:510).
Mahram sebab susuan
Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti
mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih
setelah ditahqiq (diteliti)oleh Al Hafizh
Imamuddin Ismail bin Katsir. Nabi Muhammad SAW bersabda : “ Darah susuan
mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan”(HR. Al Bukhari
dan Muslim).
Al-Qur’an menyebutkan secara khusus dua bagian
mahram sebab susuan: “ 1 dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; 2. Dan
saudara-saudara perempuan sepersusuan.” (An-Nisa 4:23).
Mahram sebab perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada tujuh. “dan ibu-ibu
istrimu(mertua)” (An-Nisa 4:23) “Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)”
(An-Nisa 4:23) “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dan istri yang
telah kamu campuri” (An-Nisa 4:23).
Menurut jumhurul ulama termasuk juga anak tiri
yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah
dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya.
Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab
akad nikah, walu si puteri belum dicampuri, kalau sudah akad nikah maka si ibu
haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
“dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)”(An-Nisa 4:22). Wanita yang dinikahi oleh
ayah menjadi haram bagi anak nya hanya dengan akad nikah, walaupun belum
dicampuri oleh ayanya, maka anaknya tak boleh menikahi ibu tirinya.
“dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara”(An-Nisa 4:23) Rasulullah SAW melarang menghimpun
antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda : “ tidak boleh
perempuan dihimpun dalam perkawinan
antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya “ (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh
dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan., demikian pula bibi tidak boleh
dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan
keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.
Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya,
begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara,
menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah
atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka
boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun nurain
, Utsman bin Affan menikahi Ummu Kultsum setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya
adalah anak nabi SAW.
Wanita yang bersuami
Allah mengharamkan mengawini wanita yang masih
bersuami. “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami” (An-Nisa
4:24). Perempuan-perempuan selain yang diatas adalah bukan mahram, halal
dinikahkan.”Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari itri-istri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina.” (An-Nisa 4:24)
6. KEWAJIBAN
SUAMI DAN ISTRI
Agar
tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melaksanakan kewajiban
hidup berumah tangga sebaik-baiknya dengan niat ikhlas karena Allah semata.
Allah SWT berfirman yang artinya: “kaum lakki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atau sebagian yang
lain dank arena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..” (Q.S. An-Nisa, 4:34)
Rasulullah Saw juga bersabda yang
artinya: “Suami adalah penanggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Secara
umum kewajiban suami dan istri adalah sebagai beerikut:
Kewajiban
suami.
a)
Memberi nafkah, sandang, pangan dan tempat tinggal kepada istri dan
anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan yang di usahakan secara maksimal. (lihat
Q.S. At-talaq, 65:7)
b) Memimpin serta membimbing istri dan anak-anak,
agar menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, agama, masyarakat
serta bangsa dan negara.
c)Bergaul
dengan istri dan anak-anak dengan baik (makruf). Misalnya: sopan dan hormat
kepada istri serta keluarganya, menyayangi istri dan anak-anak dengan niat
ikhlas karena Allah serta untuk memperoleh ridho-Nya.
d) Memelihara istri dan anak-anak dari bencana
baik lahir maupun batin, duniawi maupun ukhrawi.
e)Membantu
istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengsuh dan mendidik anak-anak
agar menjadi anak yang saleh. Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai,
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
(Q.S. At-Tahrim, 66:6)
Kewajiban
istri:
a)
Taat kepada suami dalam batas-batas yang
sesuai dengan ajaran agama islam. Adapun suruhan suaimi yang bertentangan
dengan islam tidak wajib di taati.
b)
Memelihara diri serta kehormatan dan
harta benda suami, baik dihadapan ataupun di belakangnya.
c)
Membantu suami dalam memimpin
kesejahteraan keluarganya.
d)
Menerima dan menghormati pemberian suami
walaupun sedikit. Serta mencukupkan nafkah yang di berikan suami, sesuai dengan
kekuatan dan kemampuannya, hemat, cermat, dan bijaksana.
e)
Hormat dan sopan pada suami dan keluarganya.
f)
Memelihara, mengasuh dan mendidik anak
agar menjadi anak yang saleh.
Hak suami atas istri:
Abu
Hurairah ra. Berkata: bersabda rasulullah Saw ,” jika suami memanggil istrinya
untuk tidur bersama, lalu istrinya itu menolak, sehingga semalaman suaminya
menjadi marah kepada istrinya, maka para malaikat mengutuk istri itu sampai
pagi” (Bukhari Muslim)
Abu
Hurairah ra. Berkata: bersabda rasulullah Saw ,”Tidak dihalalkan bagi seorang
istri berpuasa sunat, ketika suaminya dirumah, melainkan dengan izin suaminya.
Dan tidak boleh bagi istri mengizinkan orang lain masuk kerumahnya melainkan
dengan izin suaminya” (Bukhari Muslim)
Dari
usamah bin zaid ra, dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “tiada ku tinggalkan
sesudah matiku suatu fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi lelaki dari pada
fitnah perempuan.” (Bukhari Muslim)
DAFTAR PUTAKA
Syamsuri,Drs.H, Pendidikan Agama
Islam untuk SMA Kelas XII,Penerbit Erlangga,Jakarta: 2007
Nasrul Umam Syafi’ dan Ufi Ulfiah, Ada
Apa dengan Nikah Beda Agama, QultumMedia,Depok: 2004
Yaljan, Dr. Miqdad, Potret Rumah
Tangga Islami,Qisthi press, Jakarta Timur: 2007
Tafsirul Qur’anil Azhim, Ibnu
Katsir
Fathul Qadir, Asy-Syaukaniy